Secara umum argumen filsafat skolastik tentang Ketuhanan terdiri atas tiga macam argumen, yaitu argumen kosmologis, argumen teleologis dan argumen ontologis. Muhammad Iqbal dalam bukunya “Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam” mengungkapkan kegagalan ketiga argumen tersebut dalam mencapai definisi tentang hakikat ketuhanan.
Argumen kosmologis, adalah argumen yang bertumpu pada hukum kausalitas atau hubungan “sebab-akibat”. Argumen in menyatakan bahwa setiap akibat pasti memiliki sebab yang dimana ia menjadi akibat bagi sebab yang lain. Selanjutnya, argumen ini menyatakan bahwa tidaklah mungkin ada rantai sebab-akibat yang terus-menerus tanpa terputus dan tanpa batas. Pada akhirnya, argumen ini menyatakan bahwa pasti akan sampai pada suatu “sebab pertama yang tak bersebab”. Argumen ini menurut Iqbal dengan sendirinya telah melanggar hukum sebab-akibat yang merupakan pangkal bertolaknya argumen ini, dengan memberi batas bagi sang sebab. dalam hukum sebab-akibat, baik sebab maupun akibat keduanya adalah saling bergantung satu sama lain.
Sebab pertama, yang dicapai oleh argumen itu, tak dapat dipandang sebagai suatu keharusan wujud, karena jelas bahwa dalam hubungan sebab-akibat kedua pengertian itu sama-sama saling memerlukan. Pun keharusan wujud itu tidak identiik dengan keharusan yang berlaku dalam konsepi tentang perhubungan sebab-akibat, yang merupakan satu-satunya hal penting yang bisa dibuktikan dengan teori ini. Argumen tersebut sesungguhnya mencoba mencapai pengertian tentang sesuatu yang terbatas justru dengan menolak yang terbatas.
Argumen teleologis, atau disebut juga dengan argumen perancang. Argumen ini menyatakan bahwa bukti akan alam semesta yg serba teratur & serba mengesankan memberikan kesimpulan akan adanya “sang perancang” yang tak dapat disangkal. Dalam arti lain argumen ini mencoba menyelidiki akibat untuk menemukan sifat-sifat sebabnya. Menurut Iqbal argumen ini paling jauh hanya akan memunculkan adanya perencana cendekia yang mengerjakan bahan-bahan yang sebelumnya mati dan tak teratur, yang tak mampu membentuk dirinya sendiri menjadi sesuatu yang serba teratur dan rapi. Sang perancang dipandang berada di luar bahan-bahan tersebut dan tentu ia akan dibatasi oleh bahan-bahan tersebut. Lebih jauh, argumen ini hanya akan menunjukkan adaanya perancang semata bukan pencipta. Seperti arsitek atau tukang yang dalam kerjanya tergantung pada bahan-bahan yang ia gunakan dan harus bersusah payah telebih dahulu memisahkan dan menyatukan bahan-bahan tersebut dasi sifat alamiahnya.
Argumen tersebut hanya menunjukkan adanya seorang perencana semata, dan bukannya seorang pencipta; dan andaikata kita dapat juga menganggap sang perencana itu sebagai pencipta, maka sesungguhnya tak bijaksanalah baginya mempersulit diri sendiri dengan mula-mula menciptakan bahan-bahan yang tidak bisa diatur, dan baru kemudian mengatasi persoalan ini dengan menggunakan cara-cara, yang tentu saja asing bagi kodrat bahan-bahan itu sendiri.
Argumen ontologis, argumen ini menyatakan bahwa ide tentang wujud yang sempurna mengimplikasikan eksistensi sebnarnya dari wujud yang sempurna tersebut. Argumen ini paling disukai oleh matematikawan, dimana mereka beranggapan bahwa ide matematika mmpunyai eksistensinya yang berdiri sendiri. Argumen ini juga didasarkan oleh ide Descartes “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Argumen ini menurut Iqbal menciptakan sebuah jurang amat lebar yang tak terseberangi antara ideal dengan real. Sama halnya dengan menyatakan bahwa pikiran tentang uang sebesar 100.000 rupiah dalam otak saya membuktikan bahwa memang ada uang 100.000 rupiah dalam kantong saya.
Antara gagasan tentang suatu wujud yang sempurna dalam pikiran saya dengan kenyataan objektif wuujud itu, terbentang sebuah jurang yang tak bisa dilintasi oleh pemikiran transendental. Argumen itu sebagaiman terlihat sebernarnya merupakan suatu patitio prinsipii; sebab ia menerima begitu saja masalah yang justru masih merupakan pertanyaan, yakni peralihan dari yang logis ke real.
Referensi:
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Yogyakarta: Jalasutra, 2008.