Termoelektrisitas; fenomena dan perkembangannya

Dua buah logam tak sejenis, material A dan material B, yang terhubung satu sama lain di kedua ujungnya. Jika sambungan yang satu bertemperatur tinggi Th dan sambungan lain ber temperatur rendah Tc maka akan ada arus listrik yang mengalir dan dapat teramati apabila pengukuran dilakukan pada titik X dan Y.
Dua buah logam tak sejenis, material A dan material B, yang terhubung satu sama lain di kedua ujungnya. Jika sambungan yang satu bertemperatur tinggi Th dan sambungan lain ber temperatur rendah Tc maka akan ada arus listrik yang mengalir dan akan dapat teramati apabila pengukuran dilakukan pada titik X dan Y.

Berawal dari percobaan sederhana yang dilakukan oleh seorang fisikawan asal Jerman bernama Thomas Johann Seebeck sekitar hampir dua abad yang lalu dengan dua logam tak sejenis yang terhubung satu sama lain di kedua ujungnya, Seebeck untuk pertama kalinya mengamati suatu fenomena yang baru dua tahun setelahnya dikenal dengan sebutan termoelektrisitas. Termoelektrisitas mudahnya adalah suatu fenomena fisis yang memungkinkan konversi secara langsung energi panas menjadi energi listrik. Hari-hari ini, tak banyak yang orang yang mengetahui apa itu termoelektrisitas, lebih-lebih mengetahui fakta bahwa termoelektrisitas adalah salah satu solusi bagi permasalahan energi dan lingkungan. Di tengah menurunnya ketersediaan energi fosil, mesin-mesin konversi energi di industri dan kendaraan bermotor menghamburkan begitu banyak energi panas yang tak terpakai secara efisien. Generator termoelektrik mampu menyelamatkan energi yang terbuang ini dengan cara mengubahnya menjadi energi listrik yang bermanfaat, meningkatkan keberlanjutan energi listrik dimana manusia sangat bergantung padanya terlebih pada era moderen seperti saat ini [1].

Divais refrigerator/generator termoelektrik tersusun atas dua material dengan pembawa muatan mayoritas yang berbeda; n-type dengan pembawa muatan mayoritas elektron dan p-type dangan pembawa muatan mayoritas hole.
Divais refrigerator/generator termoelektrik tersusun atas dua material dengan pembawa muatan mayoritas yang berbeda; n-type dengan pembawa muatan mayoritas elektron dan p-type dangan pembawa muatan mayoritas hole.

Seebeck, pada tahun 1821 mengamati bahwa rangkaian yang tersusun atas dua buah logam tak sejenis yang saling terhubung di masing-masing ujungnya apabila diberikan perbedaan temperatur diantara dua sambungannya dapat menggerakkan jarum kompas. Hal ini membuktikan dibangkitkannya medan magnet di sekitar rangkaian tersebut dan Seebeck kemudian menyebut fenomena ini dengan termomagnetisme.  Dua tahun kemudian, seorang fisikawan berkebangsaan Denmark bernama Hans Cristian Orsted mendefinisikan ulang konsep di balik eksperimen yang dilakukan oleh Seebeck, Orsted mengungkapkan bahwa dalam eksperimen yang dilakukan oleh Seebeck arus listrik muncul dan mengalir dalam rangkaian jika kesetimbangan temperatur dari rangkaian terganggu akibat adanya perbedaan temperatur diantara dua sambungan logam. Seebeck mengamati medan magnet tetapi tidak mengetahui bahwa itu adalah akibat dari arus listrik yang mengalir. Orsted yang mendefinisikan ulang fenomena ini menamai fenomena ini dengan termoelektrisitas, disebut juga dengan efek Seebeck, dan menetapkan nama Seebeck sebagai sebuah parameter yang merepresentasikan rasio antara beda potensial (Voltase) yang dihasilkan dengan beda temperatur [2]. Tiga belas tahun kemudian Fisikawan Perancis Jean Athanese Peltier melakukan eksperimen terbalik terhadap eksperimen yang dilakukan Seebeck, Peltier menginjeksikan arus listrik melalui rangkaian dua logam tak sejenis dan mendapati penurunan temperatur, penyerapan panas dari lingkungan, pada satu ujung sambungan sementara ujung yang lain mengalami peningkatan temperatur, pelepasan panas ke lingkungan. Fenomena yang kemudian dinamakan efek Peltier. Tidak selesai sampai disini, William Thomson sang fisikawan asal Inggris Raya menyelidiki lebih lanjut termoelektrisitas dan berhasil menemukan efek ketiga dari termoelektrisitas, efek Thomson. Sebuah konduktor yang dialiri arus listrik dan perbedaan temperatunya terjaga akan dapat melepaskan atau menyerap panas di sepanjang konduktor tersebut. Secara umum, ada dua hal penting dalam termoelektrisitas yaitu; pertama, adanya dua logam dengan properti yang berbeda, satu logam dengan pembawa muatan mayoritas muatan negatif dan logam lain dengan pembawa muatan positif, sehingga dapat terjadi aliran listrik. Kedua, adanya perbedaan temperatur antar di kedua ujung sambungan logam tak sejenis.  Dua fenomena dalam termoelektrisitas, efek Seebeck dan efek Peltier, inilah mendasari teknologi generator termoelektrik dan refrigerator/pendingin termoelektrik.

Selama berpuluh-puluh tahun sejak termoelektrisitas pertama kali ditemukan, tahap awal penerapan termoelektrisitas, dikarenakan efisiensi konversi yang terbilang cukup rendah, hanya berkisar pada pengindera/sensor temperatur untuk pengukuran temperatur, termokopel. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi material, nasib teknologi berbasis termoelektrisitas juga turut berubah. Pada tahun 1950 Abraham Ioffe mengamati bahwa pada beberapa material paduan semikonduktor yang terdoping dapat menghasilkan konversi termoelektrik yang lebih besar daripada material lainnya.  Dipicu oleh hasil penelitian yang dilakukan Ioffe, para peneliti dan ilmuwan lain mencoba mengevaluasi beberapa jenis material lain untuk mendapatkan efisiensi konversi yang lebih tinggi. Bi2Te3 (Bismuth Telluride) ditemukan beberapa tahun kemudian dan dikenal sebagai state-of-the-art material termoelektrik yang sampai saat ini banyak digunakan dalam divais termoelektrik. Namun demikian, dikarenakan harganya yang masih relatif mahal dan kekurang efisienannya untuk penerapan sehari-hari, peneliti terus mencoba untuk mencari alternatif lain untuk material jenis ini. Pada decade pertengahan tahun 90-an, Fisikawan-fisikawan teori dari Massachusetts Institute of Technology diantaranya Gang Chen dan Mildred Dresselhaus memprediksi bahwa effisiensi material termoelektrik dapat ditingkatkan secara signifikan dengan menggiling material hingga mencapai ukuran nanometer, nanostructure [3, 4].

Material Clathrate yang berstruktur seperti sangkar menyediakan ruang kosong yang dapat ditempati oleh atom (bola kuning) yang berikatan lemah dan dapat bergetar untuk menghamburkan fonon pembawa panas.
Material Clathrate yang berstruktur seperti sangkar menyediakan ruang kosong yang dapat ditempati oleh atom (bola kuning) yang berikatan lemah dan dapat bergetar untuk menghamburkan fonon pembawa panas.

Diharapkan, dengan melakukan ini konduktivitas panas dari material dapat ditekan serendah mungkin dikarenakan fonon, kuantisasi getaran atom-atom, yang merupakan pembawa panas berinteraksi dengan struktur-struktur berukuran nano ini dan terhambat perpindahannya. Konduktivitas panas yang rendah dan konduktivitas listrik yang tinggi merupaka kunci pengembangan material termoelektrik berefisiensi tinggi. Namun, keduanya seringkali berkonflik dalam artian bahwa peningkatan salah satu akan juga berarti peningkatkan yang lain, peningkatan konduktivitas panas akan dibarengi dengan peningkatan konduktivitas listrik.  Hal ini mengilhami dicetuskannya konsep phonon-glass electron-crystal (PGEC) oleh Glen Slack dari Rensselaer Polytechnic Institute [5]. Dalam konsep PGEC, material termoelektrik yang baik adalah material yang dapat menekan konduktivitas panas layaknya material gelas dan mengkonduksikan elektron layaknya material Kristal.  Konsep ini menuntut suatu material dengan struktur yang tidak biasa yang memungkinkan elektron untuk dapat mengalir tanpa harus terganggu oleh aliran fonon. Kondisi ini dapat dicapai melalaui ketidakteraturan dalam material yang dapat direalisasikan melalui ketersediaan ruang bebas pada struktur material berupa ruang terbuka, defisiensi atom dan getaran rattling dari atom. Ketidakteraturan yang ada memungkinkan terhamburnya fonon sehingga dapat menekan konduksi panas ke nilai yang rendah. Beberapa kelas material berstruktur sangkar (cage-like) seperti clathrate dan skutterudite merupakan kelas material yang sesuai dengan konsep PGEC [6], dalam struktur sangkar ini dimungkinkan sebuah atau beberapa atom untuk mendiami ruang terbuka di dalam “sangkar” dan bergetar, dikarenakan ikatannya yang lemah, untuk menghamburkan aliran fonon pembawa panas. Dengan ini konduktivitas panas dapat ditekan melalui atom yang bergetar di dalam sementara mempertahankan konduktivitas listrik melalui aliran electron yang mengalir pada “sangkar” itu sendiri. Riset dan pengembangan terhadap material jenis ini dan jenis lain masih terus berlangsung hingga saat ini dan akan terus berlangsung di tahun-tahun selanjutnya untuk memperoleh material termoelektrik dengan efisienesi yang lebih tinggi dari yang pernah dicapai sebelumnya. Keberlanjutan riset di bidang termoelektrik sangatlah penting demi menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan energi listrik dimana manusia sangat bergantung padanya.

Referensi:

[1] G. J. Snyder and E. S. Toberer, Nat. Mat., 7, 105-114 (2008) [DOI: 10.1038/nmat2090]

[2] J. Martin, T. Tritt, and C. Uher, J. Appl. Phys., 108, 121101 (2010) [DOI:10.1063/1.3503505]

[3] G. Chen, M. S. Dresselhaus, G. Dresselhaus, J. P. Fleurial, and T. Caillat, Int. Mater. Rev., 48, 45-66 (2003)

[4] L. D. Hicks M. S. Dresselhaus, Phys. Rev. B 47, 12727-12731 (1993) [DOI: 10.1179/095066003225010182]

[5] G. A. Slack and D. M. Rowe, CRC Handbook of Thermoelectric, CRC Press, Boca Raton FL, p. 407 (1995)

[6] G. S. Nolas, J. L. Cohn, G. A. Slack, and S. B. Schujman, Appl. Phys. Lett., 73, 178 (1998) [DOI: 10.1063/1.121747]]

Advertisement

One thought on “Termoelektrisitas; fenomena dan perkembangannya

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s