At some point during your science studies, you would have been introduced to the idea of The Three States of Matter: solid, liquid, and gas. As you may have realised when thinking about, for example, the melting of glass, or contemplating the nature of a flame, this three state model doesn’t tell the whole story. Solid, liquid, and gas are more like three categories into which more specific states of matter fit. This series explores some of these states which perhaps don’t seem to fit neatly into the three states model as you may have learned it.
There is a pervasive, persistent, and entirely incorrect idea that glass is an extremely high viscosity liquid. The reason this comes about makes a certain amount of sense: glass has the same chemical composition as crystalline quartz, but has a liquid-like lack of long-range order.
Penggemar musik mungkin mengenal alat musik bernama marakas, alat musik yang berbentuk seperti telur dan berisi batu kerikil atau biji-bijian. Marakas mengeluarkan suara berdesis atau berdetak seperti ekor ular rattle, yang sedang memperingatkan pengganggunya, jika digetarkan. Saya tidak akan membahas tentang alat musik marakas, tapi tentang suatu kelas material yang memiliki struktur dan perilaku analog dengan marakas, clathrate. Clathrate adalah kelas material yang memiliki struktur tak biasa berbentuk seperti sangkar yang memungkinkan tersedianya ruang kosong untuk dapat diisi oleh sebuah atom atau molekul. Jenis material ini dianggap memiliki potensi dalam aplikasi teknologi termoelektrik dikarenakan konduktivitas panasnya yang cukup rendah. Melalui penelitian panjang dan melelahkan, peneliti percaya bahwa getaran atom di dalam sangkar bertanggung jawab terhadap rendahnya konduktivitas panas pada clathrate. Dalam termoelektrik material konduktivitas termal yang sangat rendah diperlukan untuk menjaga agar kedua ujung material tetap dalam temperatur yang berbeda. Continue reading “Clathrate, marakas yang berderak menghambur aliran panas”→
Jika kamu mencintai tanpa membangkitkan reaksi cinta orang lain padamu, (jika kamu sendiri tidak mampu menampilkan diri sebagai pecinta yang pantas dicintai), maka cinta itu akan impoten, mengenaskan.
Karl Marx
Disalin dari dari buku Anak-anak Revolusi karya Budiman Sudjadmiko Hal. 136.
Dua buah logam tak sejenis, material A dan material B, yang terhubung satu sama lain di kedua ujungnya. Jika sambungan yang satu bertemperatur tinggi Th dan sambungan lain ber temperatur rendah Tc maka akan ada arus listrik yang mengalir dan akan dapat teramati apabila pengukuran dilakukan pada titik X dan Y.
Berawal dari percobaan sederhana yang dilakukan oleh seorang fisikawan asal Jerman bernama Thomas Johann Seebeck sekitar hampir dua abad yang lalu dengan dua logam tak sejenis yang terhubung satu sama lain di kedua ujungnya, Seebeck untuk pertama kalinya mengamati suatu fenomena yang baru dua tahun setelahnya dikenal dengan sebutan termoelektrisitas. Termoelektrisitas mudahnya adalah suatu fenomena fisis yang memungkinkan konversi secara langsung energi panas menjadi energi listrik. Hari-hari ini, tak banyak yang orang yang mengetahui apa itu termoelektrisitas, lebih-lebih mengetahui fakta bahwa termoelektrisitas adalah salah satu solusi bagi permasalahan energi dan lingkungan. Di tengah menurunnya ketersediaan energi fosil, mesin-mesin konversi energi di industri dan kendaraan bermotor menghamburkan begitu banyak energi panas yang tak terpakai secara efisien. Generator termoelektrik mampu menyelamatkan energi yang terbuang ini dengan cara mengubahnya menjadi energi listrik yang bermanfaat, meningkatkan keberlanjutan energi listrik dimana manusia sangat bergantung padanya terlebih pada era moderen seperti saat ini [1]. Continue reading “Termoelektrisitas; fenomena dan perkembangannya”→
God is the light of the Heavens and the Earth.
His light is like a niche in the wall in which there is a lamp,
The lamp is within a glass, and the glass is a glimmering star,
Lit with the oil of an olive tree–
A tree neither of the East nor of the West–
Whose oil glows through fire touches it not:
Light upon light!
God guides to His light whomever He will.
God gives examples to humanity,
And God has knowledge of everything.
In the year of 1890 Heike Kemmerlingh Onnes in Leiden pioneered low temperature physics with his invention on the technique to liquefy Hydrogen and in 1906 to liquefy Helium. Initiated by this works, in 1911 he performed a study to observe the resistance of pure metals i.e. mercury at very low temperature (cryogenic). At that time, many believed that electrons flowing through a conductor would be completely halt at absolute zero temperature, or in other words the resistivity become infinitely large. The Result of Kammerlingh Onnes study stated that at the temperature of 4.2 K, the resistance of mercury is abruptly disappeared. He realized that there was a phase transition occurred and then he referred this phenomenon as “supraconductivity”, later adopted as “superconductivity.” We can safely describe superconductivity as a phenomenon where resistivity of several metals or alloys is disappeared at certain Temperature.
Fig. 0.1: Critical temperature of superconductor compared to normal metal
Numerous effort has been done to explain the phenomenon of superconductivity after its first discovery in 1911. From phenomenological macroscopic explanation to the microscopic explanation of BCS theory. Superconductor has several unique properties, that is; Magnetic field effect, Meissner effect, isotope effect. The Magnetic field effect can be described as disappearance of superconductivity under influence of magnetic field, there is critical value of magnetic field Hc in which above certain value superconductivity disappear. Superconductivity can be classified into two types based on its critical magnetic field; type I where there is only one critical field and type II where there are two critical field, the upper critical field Hc2 which separates normal phase from superconducting phase and the lower critical field Hc1 which separates superconducting mixed phase from the meissner phase, which is the same as the superconducting phase of type I. Continue reading “Superconductivity”→
Tidak terasa sudah Tujuh bulan sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota Sendai, prefektur Miyagi, Jepang. Saat itu saya hampir tidak bisa percaya kalau tujuh bulan sebelum kedatangan saya ke Jepang gempa besar(9 M) telah memukul kota ini pada Jumat 11 Maret 2011. Kota ini begitu normal, hampir tidak saya temui reruntuhan bangunan di sana-sini (hanya terlihat beberapa retakan di beberapa gedung yang beberapa bulan kemudian segera diperbaiki), transportasi berjalan normal, orang-orang beraktivitas sperti biasa. Tidak ada ketakutan atau kekhawatiran sama sekali ketika pertama kali menginjakkan kaki di sini, hanya kekaguman akan bagaimana pemulihan secepat ini bisa dilakukan. mengingat betapa mengerikan dan dahsyatnya gempa yang memukul daerah ini seperti yang saya lihat di siaran-siaran televisi sewaktu masih di Indonesia. Saat itu di televisi saya melihat kerusakan yang luar biasa ditambah Tsunami yang menghantam sebagian wilayah di pesisir pantai timur wilayah Tohoku. namun, kengerian dan kekhawatiran itu sirna ketika pertama kali melihat keindahan kota Sendai, yang juga terkenal sebagai “kota pepohonan” “the city of trees”.
Bird view kota Sendai dari kampus Aobayama, Tohoku University
Tapi… Hari itu, Jumat 4 Mei 2012, kengerian akan gempa dan Tsunami kembali menyambangi pikirian. Di tempat itu, Minamisanriku sebuah kota yang terletak di pantai timur prefektur Miyagi yang tersapu Tsunami 11 Maret 2011. Sekitar 95% kota ini porak -poranda tersapu Tsunami dan sekitar 9000 orang meninggal karenanya. Pemandangan yang tersaji saat memasuki kota ini tidak lain adalah reruntuhan dan puing-puing bangunan serta tumpukan “sampah” yang menggunung juga tumpukan bangkai-bangkai mobil. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya fondasi bangunan yang hampir rata dengan tanah, dan hanya terlihat beberapa gedung tinggi yang masih berdiri namun berhiaskan retakan dan kerusakan di seluruh bangunan. Kota ini hampir seperti kota mati. Reruntuhan, puing-puing serta bangkai benda-benda yang menumpuk menggunung seolah bercerita bagaimana dahsyatnya sapuan Tsunami yang menerjang pada saat itu, sangat terasa bagaimana mengerikannya andaikan kita berada di saat bencana itu terjadi. Jika bangunan-banguan yang kokoh saja runtuh diterjang, bagaimana dengan tubuh-tubuh manusia saat itu?
Fondasi bangunan yang hampir rata dengan tanahSalah satu bangunan yang masih berdiri dengan retakan dan kerusakan di sana-siniTumpukan bangkai mobilTumpukan sampah akibat Tsunami
Syukurlah, kota ini tidak benar-benar mati. Geliat kehidupan masyarakanya sudah terlihat. Rekonstruksi terlihat sedang berjalan, beberapa pusat perbelanjaan seperti pasar didirikan untuk menggerakkan kembali ekonomi di daerah ini. Terlihat juga banyak pendatang yang berkunjung ke daerah ini. Saya datang ke Minamisanriku bersama rombongan Perhimpunan Pelajar Indonesia Sendai (PPIS). Bersama orang-orang Indonesia lainnya yang berdomisili di Tokyo kami mengadakan semacam pameran budaya dan makanan Indonesia guna menyampaikan rasa simpati serta memberikan hiburan bagi masyarakat Minamisanriku.
Semoga Minamisanriku bisa segera pulih kembali seperti sediakala dan semoga bencana ini dapat memberikan pelajaraN berharga bagi manusia di sekitarnya.
Jika menilik kemajuan Eropa dalam bidang keilmuan dan teknologi di dunia moderen, hal ini tidak lepas dari munculnya metode-metode ilmiah keilmuan dan inspirasi-inspirasi filsafat alam yang didapat dari alam pikiran budaya Yunani pada masa ‘pencerahan’ atau renaissance. Selama ini, jamak pendapat bahwa ilmuwan Eropa memperoleh dasar dari metode ilmiah dari filsuf-filsuf Yunani. Roger Bacon yang disebut-sebut sebagai advokat bagi metode ilmiah moderen di Eropa dikatakan terinspirasi oleh Aristoteles dan Plato. Akan tetapi patut diketahui bahwa sifat dan semangat dari folosofi alam Yunani adalah bersifat spekulatif, lebih mengutamakan teori dan tidak mengindahkan kenyataan atau pengalaman konkret. Ilmu pengetahuan moderen amat mengedepankan aspek pengamatan langung dan bukan sekedar teori belaka yang bersifat spekulatif. Hal ini terutama terlihat dalam ilmu-ilmu alam fisik seperti fisika, dimana suatu teori harus mendapatkan konfirmasi melalui eksperimen untuk membuktikan kebenarannya. Kebudayaan Yunani tidak mengenal penyelidikan dan pengumpulan secara sabar terhadap pengetahuan, serta metode-metode keilmuan yang begitu cermat, dan observasi serta penyelidikan eksperimantal yang rinci dan panjang. Roger Bacon sendiri sebenarnya mempelajari metode ilmiah dari Universitas Islam Spanyol. Karyanya Opus Majus yang berisi penjelasan ilmiah tentang matematika, optik, kimia, dan mekanika sebenarnya berisi metode-metode yang berasal dari ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Al-Kindi dan Ibn Al-Haytham. Antropolog Robert Briffault dalam bukunya’The Making of Humanity’ menuliskan;
Baik Roger Bacon maupun kawan sejawatnya yang kemudian, tidak berhak disebut sebagai orang yang telah memperkenalkan metode eksperimen. Roger Bacon tak lebih hanya salah seorang utusan saja dari ilmu pengetahuan dan metode Islam kepada dunia Kristen di Eropa, dan dia pun tak kenal letih mengumumkan, bahwa pengetahuan bahasa dan ilmu pengetahuan Arab bagi mereka yang sezaman adalah satu-satunya jalan ke arah pengetahuan yang sebenarnya. Perdebatan-perdebatan seperti misalnya tentang siapa pencipta pertama metode eksperimen ialah sebagian dari penafsiran yang besar sekali tentang asal-usul peradaban Eropa. Metode eksperimen Islam itu pada masa Bacon secara luas dan bersungguh-sungguh disebarkan ke seluruh Eropa. (hal. 202) Continue reading “Metode ilmiah; antara kemajuan Eropa dan budaya Islam”→
Secara umum argumen filsafat skolastik tentang Ketuhanan terdiri atas tiga macam argumen, yaitu argumen kosmologis, argumen teleologis dan argumen ontologis. Muhammad Iqbal dalam bukunya “Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam” mengungkapkan kegagalan ketiga argumen tersebut dalam mencapai definisi tentang hakikat ketuhanan.
Argumen kosmologis, adalah argumen yang bertumpu pada hukum kausalitas atau hubungan “sebab-akibat”. Argumen in menyatakan bahwa setiap akibat pasti memiliki sebab yang dimana ia menjadi akibat bagi sebab yang lain. Selanjutnya, argumen ini menyatakan bahwa tidaklah mungkin ada rantai sebab-akibat yang terus-menerus tanpa terputus dan tanpa batas. Pada akhirnya, argumen ini menyatakan bahwa pasti akan sampai pada suatu “sebab pertama yang tak bersebab”. Argumen ini menurut Iqbal dengan sendirinya telah melanggar hukum sebab-akibat yang merupakan pangkal bertolaknya argumen ini, dengan memberi batas bagi sang sebab. dalam hukum sebab-akibat, baik sebab maupun akibat keduanya adalah saling bergantung satu sama lain.
Sebab pertama, yang dicapai oleh argumen itu, tak dapat dipandang sebagai suatu keharusan wujud, karena jelas bahwa dalam hubungan sebab-akibat kedua pengertian itu sama-sama saling memerlukan. Pun keharusan wujud itu tidak identiik dengan keharusan yang berlaku dalam konsepi tentang perhubungan sebab-akibat, yang merupakan satu-satunya hal penting yang bisa dibuktikan dengan teori ini. Argumen tersebut sesungguhnya mencoba mencapai pengertian tentang sesuatu yang terbatas justru dengan menolak yang terbatas. Continue reading “Kritik Muhammad Iqbal terhadap argumen-argumen filosofis ketuhanan”→